24 November 2009

TECHNOCORE POETS by Wishnu INSLAVE



TRILOGY BULAN PENUH #01



7 prkara cahaya tlh trsingkap..
7 mata angin tlh brputar dan badai malaikat menggila di vertikal 11

yg trlahir adlh benih yg meronta-ronta, terisak tragis mencari sebilah belati..
kemudian dia berdiri memegang kunci semesta..
dn brteriak
.. AKAN KUTIKAM BALIK KAU TUHAN ..

musim semi menari brsama api.. lalu mereka brsetubuh.. dn brsemilah tanah karatku..
tanah mahluk2 brsayap..
tanah bangsa mesin..

tanah kelahiran TUHAN baru..

 


TRILOGY BULAN PENUH #01 (b)
.. aku masih disini
menatap horizon berkerak darah,
sementara konstelasi kuda perak sedang menaungi musim semi..

tirai mataharipun trsingkap, telanjangi rahasia kekosongan..
adlh 0 1 7 7 1 0
adlh 0 1 9 kemudian hancur..

aku masih disini
antara trtunduk dn menari..
tarian api malaikat..
tarian daun yg gugur..
dan tarian bintang timur yg terkutuk..

aku masih disini..
tengadah memisah materi inti tuhan,
adlh perang..

antara aku dn DIA..

 


TRILOGY BULAN PENUH #02
... senyum malaikat KISWA
.. kebekuan
.. dimensi ungu
.. messias
.. salib putih
.. cahaya subuh

brgemuruh melingkari lubang hitam..
amarah dn tasbih membuat gerhana di pintu arsy..

.. akupun brdiri angkuh di vertikal 11,
trsenyum dingin dn brkata..
siapakah yg akan binasa ketakutan..

.. senyum srigala
.. musim gugur
.. tuhan yang brkarat
.. al masikh
.. salib patah
.. senja hitam

lihatlah..

mereka tlh mnjadi prhiasan baju zirahku.. 






TRILOGY BULAN PENUH bagian 2 b

... akhirnya kmbali..
..jalanan bising brdebu
.. menyentuh ujung lidah matahari
..brsetubuh dgn pigmen2 mimpi
.. brnafas dgn cahaya berwajah tanda
... hypernova


..dmana.. dmna..
lubang dimensiku..
sejenak trtipu..
ataukah trpecah di loncatan digitasi masa..

kmudian akupun trtawa..
karena lingkaran mata angin.. telah kuhancurkan


..7 pintu kekosongan akan trsingkap..

dn 1 pintu untuk mengakhiri sang INDUK..
telah memilihku


TELAH MEMILIHKU



TRILOGY BULAN PENUH bagian 3

apakah para malaikat sedang mengukir sayapnya..
sementara cahaya melesat dlm bulir2 salju yg menetes dr air mata Tuhan..

disaat aku sekarat melihat keindahan diriKU..







contact wishnu inslave :korosiv9@gmail.com

16 November 2009

BLOG OF THE YEAR 2009


AWARD INI KAMI ANUGERAHKAN KEPADA
1. KLASIK ROCK INDONESIA
2. UPEX ROCK
3. UNDUH MUSIK ANTIK
4. SILIAJI
5.ANGELOFRAVEN
6.NUANSA PENA
7.ROCKOSTALGIA
8.GERILYA BAWAK TANAH
9.METAL LAWAS
10.MAS FUNNY
SEMOGA AWARD INI BISA LEBIH MEMACU KITA UNTUK LEBIH KREATIF !!














Terima kasih untuk sahabat bloggerku 
UPEX ROCK yang telah memberikan award ini kepada SAHABAT ROCKERS. Ini merupakan award PERTAMA bagi blog ini.

Sebenarnya sangat banyak sobat teman yang selama ini menjalin persahabatan dengan saya, keinginan saya semua sobat dapat berikan award ini, tapi karena terbatas jadi seadanya saja. Insya Allah bagi sobat yang belum mendapatkannya akan saya berikan lagi, kalo saya mendapatkan award berikutnya.

Award ini saya berikan kembali kepada sobat blogger lainnya, antara lain ;
1. 
phonank
2. 
rumah blogger
3. 
brekele
4. 
javabis99
5. 
Apa Adanya 
6. 
Bie Azreena
7. 
Eros
8. 
Blog SEO
9. 
Catatan Putra
10. 
yans'dalamjeda'
11. 
Mas Doyok
12. 
Aldrix Blog
13. 
Klasik-Rock
14. 
blogtukanglistrik
15. 
UPEX ROCK
16. Aprie
17. Dicknyonyo
18. 
wandhe
19. 
Seribahasa
20. 
Gayuh 

06 November 2009

Jalur Homeless Crew Ujungberung Rebels


Ujungberung adalah sebuah kota kecamatan di Bandung bagian paling timur, terdapat di ketinggian 668 m di atas permukaan laut, berbatasan dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan Arcamanik di barat, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung di utara, dan Kecamatan Arcamanik di Selatan. Luasnya 1.035,411 Ha, dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu, Ujungberung terkenal sangat kental dengan seni tradisionalnya, terutama seni bela diri benjang, pencak silat, angklung, bengberokan, dan kacapi suling.
Kultur kesenian rupanya tak lekang dari generasi muda Ujungberung walau Ujungberung kemudian dibom oleh kultur industri. Daya eksplorasi kesenian yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda Ujungberung terbuka terhadap segala pengaruh kesenian. Salah satu yang kemudian berkembang pesat di Ujungberung selain seni tradisional adalah musik rock/metal. Berbicara mengenai hasrat musik ini, focus kita tentu saja akan tertuju pada komunitas metal tertua dan terkuat, Ujungberung Rebels.
Dapat dianggap, Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey (kakak Dani-Jasad) adalah generasi awal pemain band rock di Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an, mereka memainkan lagu-lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden selain juga menciptakan lagu sendiri. Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung, dan juga di Bandung, adalah kultur festival. Band tandang-tanding di sebuah festival musik dan band yang menang akan masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat Rudal Rock Band, salah satu band rock yang lahir dan sukses dari kultur ini—dan kemudia mengispirasi banyak anak muda untuk emmainkan mwtal ayng dari hari ke hari semakin kencang saja.
Tahun 1990 di Ujungberung misalnya, Yayat mendirikan Orthodox bersama Dani, Agus, dan Andris. Orthodox memainkan Sepultura album Morbid Vision dan Schizophrenia. Sementara itu di Ujungberung sebelah barat, Sukaasih, berdiri Funeral dan Necromancy. Funeral digawangi Uwo, Agus, Iput, dan Aam. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer, dan lagu-lagusendiri. Sementara itu, Necromancy—Dinan, Oje, Punky, Andre, Boy—memainkan lagu-lagu Carcass dan Megadeth, selain juga menggeber lagu-lagu sendiri. Di Ujungberung sebelah timur, tepatnya di daerah Cilengkrang I, Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi. Mereka membawakan lagu-lagu Metallica dan Sepultura. Sementara itu, di Cilengkrang II kawasan Manglayang, berdiri band Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri dengan motor gitaris Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung.
Yang unik, perkenalan para pionir ini berawal dari tren anak muda saat itu : main brik-brikan. Dinan (Necromancy) pertama kali kenal dengan Uwo-Agus (Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para personil Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang mengenai musik, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas. Selain brik-brikan, faktor kawan sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1 Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan Toxic—Addy-Ferly-Cecep-Kudung—yang merupakan cikal bakal dari Forgotten. Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Addy kita kenal sebagai vokalis Forgotten. Sementara Ferly adalah gitaris Jasad sekarang. Belum lagi band-band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24 Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.
Di antara band-band tersebut, band yang berhasil membangun jaringan pertemanan yang baik adalah Funeral dan Necromancy. Bersama kawan-kawan sesama penggila musik ekstrim dari seantero Bandung, mereka berkumpul di lantai 3 Bandung Indah Plaza (BIP) dan membentuk kelompok yang mereka namakan Bandung Death Brutality Area atau sering mereka sinfkat Badebah. Selain Funeral dan Necromancy, tercatat band Voila dan The Chronic yang juga termasuk ke dalam komunitas Badebah. Nama Badebah juga kemduian diadopsi menjadi sebuah program siaran di Radio Salam Rama Dwihasta yang dibawakan oleh Agung, Dinan, Uwo, Agus, dan Iput di Sukaasih, Ujungberung, tahun 1992. Program Badebah memutarkan lagu-lagu ekstrim, dari thrash metal, crossover, hingga death metal, dan grindcore—yang saat itu tentu masih asing di tengah dominasi hard rock, heavy metal, atau speed metal. 
Homeless Crew 
Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda. Dalam festival mereka harus memenuhui banyak syarat yang intinya adalah sama : menuntut band untuk menampilkan wajah sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau produser. Hal itu memangkas semangat ekspresi rock/metal juga semangat terdalam dan manusiawi dalam diri seorang seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran musisi muda Ujungberung maju dan merangsek jalanan.
Di saat yang sama, generasi baru di bawah anak-anak Badebah mulai berkumpul dan membentuk kelompok pecinta metal ekstrim semacam Badebah. Mereka menamakan diri Bandung Lunatic Underground (BLU) yang didirikan secara kolektif oleh Ipunk, Romy, Gatot, Yayat, Dani, Bangke, dan lain-lain. Seperti halnya Badebah, BLU menampung banyak hasrat music dari metal, hardcore, hingga punk. Di bawah BLU, pengembangan jaringan pertemanan para pecinta metal semakin meluas saja. Music metal ekstrim juga semakin ramai dengan terbukanya GOR Saparua untuk pergeralan-pergelaran music ekstrim.
Di Ujungberung sendiri, perkembangan musik ekstrim didukung oleh Studio Palapa, sebuah studio music milik Kang Memet yang dikelola oleh duet maut Yayat dan Dani. Studio ini kemudian menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia. Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band independen di Indonesia yang tercatat Majalah Hai tahun 1996, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekaman yang mereka kibarkan adalah Palapa Records.
Sayang dinamika ini berbanding terbalik dengan BLU. Tahun 1994, organisasi pecinta music ekstrim ini terpecah ketika scene metal semakin ramai. Setidaknya, kelompok ini terbagi tiga, yaitu Black Mass yang terdiri dari anak-anak black metal, Grind Ultimatum yang terdiri dari anak-anak grindcore, dan sisanya, kebanyakan anak-anak Ujungberung yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengapresiasi music, membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) awal tahun 1995. Yayat adalah tokoh sentral ENG.
Propaganda awal ENG ada tiga, yaitu membuat media komunitas musik metal bawahtanah, membuat pergelaran music metal sendiri, dan mebentuk kru yang mendukung performa band-band Ujungberung. Manifestasi dari propaganda media adalah berdirinya Revograms Zine yang dibentuk oleh Dinan pada April 1995 dengan tim redaksi yang terdiri dari Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Manifestasi dari propaganda pergelaran sendiri band-band Ujungberung adalah digelarnya acara Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Tahun 2004 kelak, bandung Berisik IV di Stadion Persib dicatat oleh Time Asia sebagai pergelaran music bawahtanah terbesar di Asia setelah berhasil menyedot audiens sebanyak 25.000 metalhead dari seluruh Indonesia.
Sementara itu, manifestasi dari propaganda kru band adalah dengan terbentuknya Homeless Crew. Ini merupakan kelompok musisi-musisi muda yang aktif mempelajari seluk beluk sound system dan teknis pergelaran sebuah band dengan cara belajanr langsung menjadi kru band kawan-kawannya. Pada gilirannya, Homeless Crew tak Cuma berperan sebagai kru yang vital bagi sebuha band, tapi juga menjadi gaya hidup anti-mapan ala anak-anak Ujungberung yang menolak untuk “berumah”. Gaya hidup anti-mapan ini bukan hanya ada di alam pikiran anak-anak Ujungberung, namun benar-benar mereka amalkan dengan keluar rumah, bergabung dengan kelompok mereka untuk tinggal bersama di jalanan. Para pencetus Homeless Crew adalah Yayat, Ivan Scumbag, Kimung, Addy Gembel, dan tentu saja sang radikal, Dinan.
Ujungberung Rebels
Antara tahun 1995 hingga 1997, Homeless Crew semakin berkembang pesat. Setidaknya ada dua puluh band berdesakan hidup di jalanan Ujungberung dengan semangat juang yang tinggi. Seiring dengan penggarapan Bandung Berisik II, Homeless Crew berencana menghimpun kekuatan band-band mereka ke dalam satu kompilasi. Proyek ini dikomandoi sendiri oleh Yayat sehabis bandung Berisik II usai digelar. Ada enam belas band ikut serta mendukung kompilasi ini dan membiayai rekaman mereka secara swadaya. Mereka kemudian menamai kompilasi mereka Ujungberung Rebels. Istilah “rebels” digunakan karena apa yang mereka lakukan pada saat itu adalah memang sebuah pemberontakan. Bukan hanya pemberontakan pada scene music secara umum yang sangat didominasi music pop, tapi juga pemberontakan kepada pengkotak-kotakan music yang berujung pada perpecahan genre di scene bawahtanah Bandung. Melalui kompilasi ini, Homeless Crew bagai ingin menunjukkan wajah keragaman music yang ada di Ujugnberung. Dan memang tak cuma death metal dan grindcore hadir dalam kompilasi ini. Punk, gothic, dan hardcore ikut mewarnai kompilasi ini.
Kompilasi ini akhirnya dirilis Independen Records dengan tajuk Independen Rebels dengan nilai transaksi empat belas juta rupiah pada tahun 1998. Namun demikian, walau nama “Ujungberung Rebels” tak jadi dijadikan judul kompilasi, namun namanya tak lantas pudar. Ujungberung Rebels malah kemudian menjadi identitas baru bagi komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung, berdampingan dengan nama Homeless Crew. Masa itu, jika memanggil Ujungberung Rebels maka identifikasi scene akan langsung tertuju pada Homeless Crew.
Dari keuntungan kompilasi Independen Rebels, Yayat kemudian mendirikan sebuah distro yang menampung hasil kreativitas anak-anak Ujungberung dan Indonesia pada umumnya, Distro tersebut ia namai Rebellion, bertempat di jl. Rumah Sakit Ujungberung. Kabarnya, Rebellion adalah distro kedua di Indonesia setelah Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah, bersinergi dengan Pisces Studio. Pisces adalah studio milik Dandan ketika Kang Memet akhirnya memutuskan menjual alat-alat band Studio Palapa, Februari 1997.
Sementara dinamika rilisan kaset menggila, begitu juga dengan zine dan media. Zine kedua setelah Revogram adalah Ujungberung Update. Mereka yang berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel, Amenk, dan Sule. Merekalah yang kemudian membuat istilah tren saat itu : Gogon, singkatan dari “Gosip-gosip Underground”. Setelah Ujungberung Update, kemudian lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris Sacrilegious saat itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh drum Burgerkill, dan The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer Jasad. Belakangan, tahun 2000an, Toto bersinergi dengan Eben membuat zine NuNoise, salah satu zine progresif yang mengkover pergerakan musik termutakhir. Selain itu, Toto juga secara intens menerbitkan newsletter bernama Pointless selama tahun 2003 hingga 2005. Zine lainnya yang fenomenal dan terus bergerak hingga kini adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio serta Ferly, gitaris Jasad, merupakan media propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels. 
Baby Riots War Machine Squad, Grinding Punk Corporation, Cicaheum Hell Park
Baby Riots adalah sebutan anak-anak Ujungberung Rebels bagi pasukan tempur bentukan Butchex, pentolan band The Cruels dan Mesin Tempur. Tahun 1999 Ujungberung Rebels berkembang semakin pesat secara kualitas, kuantitas, dan totalitas. Saat itu juga mulai terasa konflik dan gesekan antara para metalhead kita dengan masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur indsutri dan merupakan daerah peralihan yang tanggung—kampung bukan, kotapun bukan—melahirkan banyak juga komunitas lain yang serba tanggung dan kemudian lazim kita namakan preman. Mereka kurang senang melihat anak-anak Ujungberung dengan segala totalitasnya, wara-wiri di jalanan Ujungberung. Bentrokan dengan preman-preman pun semakin sering terjadi. Tak hanya itu, perkembangan di scene music yang semakin diwarnai premanisme juga semakin memperkokoh Homeless Crew Ujungberung Rebels untuk berbuat sesuatu. Dan sesuatu itu adalah dibentuknya Baby Riots War Machine Squad.
Baby Riots War Machine Squad adalah pasukan tempur Ujungberung Rebels yang setia membela kepentingan para “presiden metal” Ujungberung Rebels. Menurut Butchex, sang panglima, Baby Riots adalah campuran anak-anak jalanan Cicukang dan Cicaheum yang barbar dan tak memiliki hasrat lain selain bertempur. Baby Riots akan segera keluar sarang jika ada yang mengganggu para pionir Ujungberung. Untuk menjadi anggotanya tak mudah. Mereka akan dipantau oleh Butchex, sang komandan, dilihat dari heroisme mereka membela Ujungberung dan bila sudah terbukti mereka akan diberi kalung silet sebagai simbol keanggotaannya. Namun demikian, karena semakin liar dan tak terkendali, Butchex kemudian membubarkan Baby Riots.
Di saat yang bersamaan, gairah bermusik Butchex juga semakin membara ketika akhirnya menemukan hasrat musik yang selama ini terus ia bayangkan. Hasrat itu ia dapatkan ketika bandnya, The Cruels, digarap oleh musisi-musisi metal semacam Dani Jasad, OpikDead, dan Komenk. Bersama tiga metalhead inilah Butchex merumuskan music punk baru yang kental dengan aura metal dan grindcore, hingga akhirnya lahirlahalbum The Cruels, Hollow Horror tahun 2001. Dalam sampul bagian dalamnya, The Cruels menuliskan propaganda musik mereka “It’s a punk grinding time!” Secara tidak langsung, propaganda itu adalah proklamasi berdirinya sel baru yang tak kalah bahaya dari Ujugnberung Rebels, Grinding Punk Corporation (GPC). Setidaknya ada enam band yang menurut Butchex hadir di awal berdirinya GPC. Mereka adalah The Cruels, Bloodgush, Sedusa, Caravan of Anaconda, Pemberontak, dan Six Men from Egypt. Segera saja GPC berkembang ke seantero scene. GPC kemudian berkoalisi dengan Saraf Timur Squad Cicalengka dengan ikon-ikonnya seperti Tikus Kampung dan Punklung.
Ketika akhirnya Butchex bosan bermusik, ia membunuh bosan itu dengan bermain skateboard. Di scene ini, ia juga lalu membentuk sebuah kelompok pecinta skateboard yang kerap bermain skateboard di belakang Terminal Cicaheum Bandung sekitar tahun 2002 atau 2003. Karena begitu rawan bentrokan dengan preman-preman terminal serta begitu jalanannya tempat para skater ini bermain-main, Butchex menamakan kelompoknya, Cicaheum Hell Park (CHP). Belakangan, CHP juga sering berkolaborasi dengan Neverland Sakteboard yang terdiri dari bocah-bocan skater asuhan Pei dari Ujugnberung melalui program kampanye bermain lima belas menit bersama anak-anak dalam satu hari, Never Grow Up.
Bandung Death Metal Syndicate dan Sunda Underground
Pertengahan tahun 2000an, scene musik Indoensia dibombardir oleh emocore. Hampir semua panggung pergelaran didominasi oleh hasrat music ini, bagaikan tak pernah akan ada lagi panggung untuk death metal. Prihatin dengan fenimena ini, para pionir Ujungberung Rebels semakin intens membincangkan fenomena yang memprihatinkan ini. Death emtal akan tenggelam jika para pionir diam saja menandangi kudeta panggung emocore atas detah metal itu. Maka ketika tak ada lagi panggung dari orang lain untuk death metal, para pionir sepakat untuk mulai memikirkan bagaimana menggarap panggung sendiri yang mementaskan hanya death metal saja. Tiga pionir yang kemudian mengeksekusi hasrat tersebut adalah Man, Amenk, dan Okid. Mereka sepakat menggarap Bandung Death Fest tahun 2006 yang mementaskan band-band death metal Ujungberung, Bandung, dan Indonesia. Bandung Death Fest 2006 digelar dengan sukses di bawah kerja sebuah kolektif bernama Homeless Grind.
Tahun 2007, ketika proses persiapan bandung Death Fest II, Homeless Grind berganti nama menjadi Bandung Death Metal Syndicate (BDMS). Ada beberapa perubahan penting yang patut dicatat di sini. Yangpaling jelas adalah komitmen anak-anak Ujugnebrung Rebels yang semakin tinggi terhadap kebudayaan tradisional, dalam hal ini Kasundaan. Man saat itu membuat logo BDMS bergambar dua kujang yang saling bersilang dengan semboyan yang fenomenal Panceg Dina Galur. Komitmen Kasundaan juga dibuktikan dengan dimasukkannya pencak silat dan debus sebagai pertunjukan plus dalam Bandung Death Fest II. Saat ini pula BDMS mulai kenal dengan Kang Utun, salah satu aktivis lingkungan hidup dan Kasundaan yang kemudian semakin membukakan gerbang adat kepada para metalhead muda kita.
Masa inilah Ujungberung Rebels semakin dekat dengan kelompok-kelompok Kasundaan di Bandung. Mereka semakin sering menghadiri berbagai acara adat dari pabaru Sunda, Rarajahan, Tumpek Kaliwon, atau hanya kongkow-kongkow santai membincangkan berbagai hal ngalor-ngidul. Atas keikutsertaannya dalam berbagai acara adat, Ujungberung Rebels kemudian sering dijuluki juga sebagai Kelompok Kampung Adat Sunda Underground. Komitmen Kasundaan semakin menyala-nyala ketika akhirnya berdiri Karinding Attack yang beranggotakan Man, Amenk, Kimung, Jawish, Gustavo, Ari, dan Kimo selain juga Kang Utun, mang Engkus, dan kang Hendra yang mewakili kelompok adat Kasundaan.
Di sisi lain BDMS semakin nyata menunjukkan taringnya ketika berhasil dengan mansi dan kreatif berkolaborasi dengan pihak tentara ketika menggelar Bandung Death Fest III 9 Agustus 2008 yang memapu menyedot penonton hingga 15.000 metalhead muda. Fenomena yang sama juga terulang tanggal 17 Oktober 2009 ketika BDMS menggarap Bandung Death Fest IV kembali di Lapangan Yon Zipur. Patut dicatat pula, dua pergelaran terakhir itu adalah kolaborasi Ujungberung Rebels dengan scene komunitaas kreatif bandung yang termaktub dalam pergelaran bersama Helarfest 2008 dan Helarfest 2009.
Begundal Hell Club dan Bandung Oral History
Begundal Hell Club (BHC) berdiri tahun 2007, merupakan fansclub Burgerkill. Sejak berdirinya, klub ini mendapat sambutan yang sangat baik dari khalayak. Kini BHC tak hanya menyebar di Indonesia, tapi juga hingga Australia. BHC Australia juga yang berperan besar ketika Burgerkill akhirnya bisa tur di Australia barat awal tahun 2008. Eben sang kreator dan otak dari BHC berperan besar dalam mengembangkan klub ini. Berbagai acara beraura pendidikan komunitas telah digelar BHC sepanjang usia mereka yang baru seumur jagung. Kini BHC sedang berancang-ancang untuk membuat pergelaran khusus BHC dan juga kompilasi band-band BHC.
Aroma pendidikan komunitas yang lebih kental tercium dari kelompok riset Bandung Oral History (BOH). Kelompok ini berdiri Desember 2008, diprakarsai oleh Kimung dan Gustaff, mengkhususkan diri berkecimpung di riset sejarah Kota Bandung dengan metode sejarah lisan sebagai metode utama. Sejak berdiri, hingga kini, setidaknya ada dua puluh draft outline riset yang telah dihasilkan para periset. Beberapa draft tersebut adalah riset tentang GOR Saparua, Viking Persib, kiprah para wanita di scene bawahtanah Bandung, kiprah para orang tua di scene bawahtanah Bandung, sejarah Ripple, fenomena CD bajakan di Kota Bandung, gambaran umum komunitas kreatif di Bandung, sejarah kusen keluarga, biografi Priston sang anak jalanan, sejarah Benajng, sejarah Tajimalela di SMAN 1 Cileunyi, sejarah Kopi Aroma, sejarah Persib, sejarah band Sonic Torment, sejarah band Homicide, sejarah GMR FM, sejarah bandung eath Metal Syndicate, kiprah Tiger Association Bandung, fenomena All Star di scene indie Bandung, serta riset mengenai Ujungberung Rebels.
Bulan Februari 2009, BOH menggelar pameran hasil riset bersama mereka mengenai kompilasi-kompialsi yang ada di Kota bandung anatar tahun 1995 hingga 2008. Setidaknya ada tujuh puluh enam kompilasi yang mereka riset berdasarkan bimbingan Idhar dan Kimung. Kini setidaknya ada dua belas riset berkaitan dengan wajah Kota Bandung yang terus dilakukan oleh para periset muda BOH. Hasil riset BOH dipresentasikan tanggal 29 Oktober 2009 di Commonroom dalam acara Nu Substance Festival yang juga termaktub ke dalam Helarfest 2009.
Ekonomi Kreatif Ujungberung Rebels
Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels semakin menggurita saja dari hari ke hari. Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fesyen, rekaman, dan literasi. Yang paling subur adalah indsutri fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graphic dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath yang ini diteruskan Erick sepeninggal Ivan.
Di bidang industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman yang sangat dinamis, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore bahkan memiliki media literasi berupa majalah metal kencang bernama Rottrevore Magazine. Pentolan Ujungberung lainnya yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.
Tentu selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet yang dikelola Kudung atau toko musik atau sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal Ujungberung Rebels sendiri, maksimal ya…mungkin membayarkan hutang Indonesia raya yang bejibun itu.
Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Segala datang bersama daya konsistensi yang sangat tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas. Tapi kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg dina galur, tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah inti, sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euforia di permukaan.
Segala pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal. Mininal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina galur!
*Penulis adalah musisi, editor zine Minor bacaan Kecil (KIMUNG CORE)

01 November 2009

Malang Underground Rock Story

Benarkah kota Malang sudah rock & roll sejak tempo doeloe? Seperti apa iklim scene musik dan komunitas penggemar musik keras di wilayah lokal pada jaman baheula? Siapa saja pionir yang bertanggungjawab atas 'kecadasan' di kota dingin ini? Ini catatan historis tentang perkembangan budaya musik cadas dan komunitasnya di kota Malang. Halaman pertama dari peradaban lokal seni musik dan revolusi rock & roll yang masih terus bekerja...

Periode Pemecah Es [1970-an]

Sebenarnya benih-benih rock & roll di kota Malang sudah muncul sejak awal era '60-an, ketika bocah berusia sebelas tahun, Abadi Soesman, untuk pertama kalinya membentuk grupband bernama Irama Abadi, 1 April 1960. Masyarakat dunia saat itu sedang dihinggapi wabah musik rock & roll yang dipelopori oleh Elvis Prestley, Chuck Berry, dan The Beatles. Trend tersebut menyeberang ke Indonesia dan ikut meracuni selera anak-anak muda negeri ini.

Namun seperti yang kita ketahui, memainkan musik rock pada era orde lama masih dianggap tabu. Bentuk kesenian yang kebarat-baratan sangat dibatasi geraknya. Para musisi dan seniman otomatis susah berkembang serta makin terpojokkan. Rezim pemerintah terus mendorong masyarakat untuk menjauhi musik rock. The Beatles dilarang, bahkan Koes Plus dipenjara. Rambut panjang diharamkan, dan musik rock disebut 'musik setan'.

Anak-anak muda yang berniat untuk main musik dicap tidak punya masa depan. Mereka hampir selalu dilecehkan oleh para generasi tua, terutama calon mertua. "Dulu, pemusik adalah derajat paling rendah, dan sedikit naik tingkat setelah heboh narkoba," ungkap Abadi Soesman ketika diwawancarai Kompas, November 2006 lalu.

Malang hanyalah kota kecil yang jauh dari gemerlap industri musik seperti halnya Jakarta. Banyak remaja yang ingin sekedar main band, namun terganjal pada sarana alat musik yang mahal dan terbatas. Beberapa grup musik baru bisa berlatih dan manggung setelah didanai oleh perusahaan besar. Sebut saja nama Bentoel band atau Oepet band, yang disponsori pabrik rokok terbesar di Malang. Sejumlah band lainnya seperti Zodiak, Panca Nada, Arulan, atau Swita Rama, rata-rata juga milik perusahaan tertentu. Iklim bermusik seperti itu dirasa cukup menyedihkan serta kurang menjanjikan bagi para musisi lokal.

Selera kuping arek-arek Malang pada jaman dulu tidak pernah bergeser jauh dari genre musik keras - mulai dari yang bernuansa hardrock, slowrock, folk-rock, art-rock atau psychedelic rock sekalipun. Komposisi musik seperti yang dimainkan Led Zeppelin, Genesis, Rolling Stones, Janis Joplin, The Doors, Uriah Heep, Yes, Deep Purple, Rainbow, Pink Floyd, Rush, atau Queen adalah beberapa nama paten yang sangat digilai anak muda Malang.

"Dulu semua band di Malang memang rock. Saya dan Ian Antono punya filosofi yang sama, dan kami bersatu karena musik rock," tutur Abadi Soesman seraya menyebut nama salah satu legenda musik rock kelahiran Malang yang paling terkenal hingga sekarang.

Ian Antono lahir di Malang, 29 Oktober 1950, dengan nama asli Yusuf Antono Djojo. Sewaktu kecil ia sempat memegang instrumen ketipung dalam suatu band bocah beraliran melayu. Ian yang saat itu menyukai lagu-lagu dari The Shadows atau The Ventures, kemudian memperkuat band keluarga Zodiacs bersama kakak-kakaknya.

Pada tahun 1969, Ian hijrah ke Jakarta bersama Abadi Soesman dan bermain musik di Hotel Marcopolo. Dua tahun kemudian ia kembali ke Malang untuk bergabung dengan band Bentoel sebagai pemain drum, yang lalu beralih ke gitar. Saat itu ia mengaku terpengaruh oleh Deep Purple, Alice Cooper, Jethro Tull, Edgar Winter, dan James Gang - serta meniru segala gaya mereka mulai dari penampilan fisik, kostum, aksi panggung, bahkan sampai ke cara bermusiknya.

Bentoel kemudian menjadi salah satu kelompok musik rock yang paling populer di kota Malang. Barisan yang dimotori vokalis Micky Jaguar dan drummer Ian Antono itu terkenal eksentrik dan selalu penuh kejutan. Pada tahun 1972, mereka diundang tampil membuka konser Victor Wood di Gelora Pancasila, Surabaya. Dalam kesempatan tersebut, Micky Jaguar melakukan atraksi panggung yang sensasional. Sembari menyanyikan lagu John Barlecon [Traffic], ia menyembelih seekor kelinci dan meminum darahnya. Gara-gara atraksinya itu, ia terpaksa berurusan dengan pihak berwajib.

Sayangnya Bentoel tidak berumur panjang dan tidak sempat merekam apa-apa. Pada tahun 1974, Ian Antono diminta Ahmad Albar untuk kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Godbless. Di kelompok itu, Ian mulai coba-coba menulis lagu dan menata musik untuk album Huma di Atas Bukit [1976]. Baginya, ada semacam proses transformasi dari sekadar bermain menuju ke tahap penciptaan. Hingga kemudian nama Ian Antono juga dikenal sebagai penulis lagu dan penata musik untuk sekitar 400-an lagu yang dimainkan Godbless, Duo Kribo, Ucok Harahap, Nicky Astria, Iwan Fals, Anggun Cipta Sasmi, hingga Grace Simon.

Sementara itu, bubarnya Bentoel memaksa vokalis Micky Jaguar bergabung dalam Ogle Eyes, grup musik yang juga diperkuat oleh mantan personil Giant Step [Bandung], keyboardist Jocky Soerjoprayogo dan drummer Sammy Zakaria. Ia juga sempat memulai karir solonya dengan merekam album bertitel Metropolitan [Prawita records]. Pada rilisan tersebut, ia berduet dengan Sylvia Saartje di lagu yang berjudul Wanita. Saat ini, kaset solo Micky Jaguar menjadi barang langka dan collector item yang bernilai tinggi.

Nama sang ladyrocker, Silvia Saartje, tentu cukup populer bagi penggemar musik rock lokal. Penyanyi rock kelahiran Arnheim [Belanda] yang bermukim di Malang ini sempat tenar lewat singel Biarawati ciptaan Ian Antono. Di kala manggung, perempuan ini selalu memakai kostum yang agak seronok dan menghebohkan. Salah satu pentasnya yang paling diingat publik Malang adalah ketika membantu Elpamas dalam mengkover lagu Pink Floyd yang terkenal sangat rumit, The Great Gig In The Sky. Selama karirnya, Sylvia Saartje telah menelurkan tujuh buah rekaman. Ia juga sempat tampil sebagai penyanyi dalam film Kodrat garapan Slamet Raharjo. Beberapa tahun terakhir ini, namanya terkadang masih mondar-mandir mengisi program musik rock dan blues di sebuah stasiun televisi.

Selama era '70-an, beberapa musisi lokal mulai terpikir untuk hijrah ke ibukota. "Dulu, Jakarta itu seperti luar negeri," kenang Abadi Soesman. Sebagai pusat industri, Jakarta memang menarik dan lebih terbuka bagi peluang karir di bidang musik. Mitos klasik bahwa musisi daerah kalau ingin sukses musti hijrah ke ibukota memang tidak bisa dipungkiri, dan hampir benar adanya. Sentralisasi industri musik nasional malah cenderung melanggengkan keabsahan rumus yang terkadang masih berlaku hingga sekarang itu.

Sementara evolusi rock & roll di kota Malang terus berjalan. Band-band baru bermunculan dari berbagai ajang festival dan parade musik lokal. Aksi mereka juga selaras dengan kebiasaan band rock nasional generasi awal - seperti Cockpit [Jakarta], Trencem [Solo] Godbless [Jakarta], Giant Step [Bandung] atau AKA/SAS [Surabaya] - yang lebih sering membawakan karya lagu musisi luar dan cenderung malas menulis lagu sendiri. Makanya hanya sedikit sekali rekaman album bahkan sekedar demo yang dirilis pada jaman itu.

Selera pasar dan kebiasaan musisi yang terlalu 'memuja band asing' itu akhirnya memberi imbas di setiap pertunjukan musik. Penonton hampir selalu menuntut band yang tampil di panggung untuk bermain 'persis kaset' istilahnya. Mereka hanya ingin mendengar lagu favoritnya dan tidak peduli pada lagu ciptaan musisi lokal. Akibatnya, hanya sedikit band yang mau menulis dan mengusung karya ciptaannya sendiri. Selebihnya tidak ada jalan lain kecuali tampil sempurna membawakan lagu kover yang jadi favorit penonton.

Kondisi di atas membuat sejumlah band lokal menjadi band spesialis yang identik dengan band asing panutannya. Misalkan saja Micky Jaguar layaknya seorang Mick Jagger dengan gaya urakan ala Ozzy Osbourne. Bahkan Sylvia Saartje sempat dianggap titisannya Jonis Joplin. Hingga musisi yang lebih yunior macam Elpamas yang hanya akan mendapat aplaus jika membawakan komposisi dari Pink Floyd.

"Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!" ujar Jaya, gitaris grupband Roxx yang sempat ditemui penulis saat event Soundrenaline 2004 di Stadion Gajayana Malang. "Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!"

Sudah banyak kisah musisi rock lokal maupun nasional yang coba 'menaklukan' hati dan telinga penonton Malang yang terkenal agak liar dan suka rusuh. Sebagian memang cukup berhasil, namun lebih banyak di antaranya yang gagal total. Band yang tidak mampu memuaskan penonton akan sangat beruntung jika hanya mendapat cemooh dan caci-maki saja. Sebagian malah bernasib lebih buruk, menerima lemparan benda-benda aneh dari penonton dan dipaksa turun dari panggung.
Sejak era '70-an, tempat pertunjukan [venue] yang sering dipakai ajang konser rock adalah GOR Pulosari yang terletak di bilangan jalan Kawi. Desain arsitektur gedung tersebut cukup unik dan sangat 'bawah tanah' sekali. Venue itu dibangun pada cerukan tanah yang dalam, serta dikelilingi tribun kayu yang mengelilingi panggung besar di bawahnya. Konstruksi seperti itu menjadikan GOR Pulosari sebagai hall yang kedap suara, serta dianggap memiliki akustik yang cemerlang untuk sebuah pertunjukan musik. Sejumlah nama mulai dari Panbers, Trencem, Bentoel, Cockpit, Sylvia Saartje, hingga Godbless sudah pernah menjajal GOR Pulosari yang dikenal sangat prestisius untuk konser musik rock.

Cockpit termasuk band yang sempat mendulang histeria massa ketika tampil di Pulosari. "Wah, dulu kalo Cockpit manggung bawain lagunya Genesis, vokalis Freddy Tamaela gak perlu nyanyi lagi, sebab penonton satu gedung udah nyanyi semua saking hapalnya!" cerita beberapa orang lawas yang pernah mengalami serunya pertunjukan musik lokal tempo doeloe. Di lokasi yang sama, Micky Jaguar pernah meminum darah kelinci dan langsung ditahan aparat begitu turun dari panggung. Boleh dibilang, manggung di GOR Pulosari bisa menjadi pengalaman terbaik atau yang terburuk bagi setiap musisi manapun.

Angkernya venue yang berkapasitas 5000 penonton itu juga diamini oleh Viva Permadi alias Wiwie GV, seorang musisi/aranjer asal Malang. Dalam wawancaranya dengan Kompas [12 November 2006], ia menganggap GOR Pulosari ibarat pengadilan publik untuk menilai sukses atau tidaknya sebuah band ketika manggung. Ia terkenang sewaktu Godbless manggung di sana pada tahun 1979. Penonton ketika itu tidak puas dengan penampilan Ahmad Albar dkk. Mereka lalu mengamuk dan melempar apapun ke arah panggung. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, kalau sebuah band pentas di Malang sampai tidak rusuh, berarti grupband itu berhasil.
Pada dasarnya, dekade '70-an telah mencatat suatu babak awal yang seru dari evolusi rock & roll di kota Malang. Munculnya berbagai aktifitas band dan musisi rock, pertunjukan musik, penonton konser yang seru [dalam konotasi yang aman maupun rusuh!], atau sekedar hura-hura urakan ala anak muda telah membuka wacana baru bagi masyarakat awam. Perlahan, publik mulai mengenal konsep 'rock & roll' baik secara musikal, penampilan, maupun pola pikir. Stigma dan dogma kuno telah mencair. Atau mungkin akan membatu kembali dalam suasana yang lebih baik di masa yang selanjutnya...
taken from www.apokalip.com





















SAHABAT ROCKERS © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute